The Wayang Women: Wewe Gombel

Annabel Laura is an Indonesian-Dutch singer-songwriter and multidisciplinary artist who weaves together music, words, and the deeper layers of human experience. A finalist in the Dutch Songwriting Competition, she writes and produces all her own music, with three albums released to date, using an intuitive process of improvisation and channeling to bring stories and emotions to life. Beyond her music, Annabel works with an inspirational card deck featuring her artwork and poetry, and offers workshops on songwriting, improvisation, and setting words to music, guiding participants to connect with their own artistic voice. Her practice also extends to meditative concerts around the world, where music becomes a gateway to reflection and transformation.

Annabel Laura adalah penyanyi-penulis lagu dan seniman multidisiplin berdarah Indonesia-Belanda yang merajut musik, kata-kata, dan lapisan terdalam pengalaman manusia. Sebagai finalis Kompetisi Penulisan Lagu Belanda, ia menulis dan memproduksi seluruh musiknya sendiri, dengan tiga album yang telah dirilis hingga kini. Proses kreatifnya mengandalkan intuisi melalui improvisasi dan penyaluran untuk menghadirkan cerita serta emosi. Di luar musik, Annabel juga menciptakan kartu inspirasi yang menampilkan karya seni dan puisinya, serta menyelenggarakan lokakarya tentang penulisan lagu, improvisasi, dan menggubah kata menjadi musik, membimbing peserta menemukan suara artistik mereka sendiri. Karyanya pun meluas ke konser meditatif di berbagai belahan dunia, di mana musik menjadi pintu masuk menuju refleksi dan transformasi.

Illya Sumanto is a Malaysian puppeteer, educator, and theatre producer based in Thailand. She teaches performing arts in Chiang Mai and is a Wayang Kulit specialist with the International Schools Theatre Association, introducing this traditional art form to young people worldwide. Producer of Wayang Women, an all-female, multinational Wayang Kulit troupe, Illya studies under master puppeteer Pak Dain while writing her doctoral thesis on female puppeteers in Malaysia and Indonesia. She founded the Empathy For Youth Academy to teach emotional literacy through Wayang Kulit and authored From Me to We: Teaching Children Taboo Topics for Empathy Through Spoken Word Poetry in Malaysia in 2022. Since 2015, she has been an organiser of 100 Thousand Poets for Change, introduced Youth Slam to Senegal in 2019, was champion of Ubud Slam in 2016, hosted this Festival's Women’s Slam three times, and won a slam at the Nuyorican Poets Cafe in New York in 2023.

Illya Sumanto adalah seorang dalang asal Malaysia, pendidik, dan produser teater yang berbasis di Thailand. Ia mengajar seni pertunjukan di Chiang Mai dan merupakan spesialis Wayang Kulit di International Schools Theatre Association, memperkenalkan seni tradisional ini kepada generasi muda di berbagai belahan dunia. Sebagai produser Wayang Women, kelompok Wayang Kulit multinasional yang seluruh anggotanya perempuan, Illya menimba ilmu di bawah bimbingan maestro Pak Dain sambil menulis disertasi doktoralnya tentang dalang perempuan di Malaysia dan Indonesia. Ia juga mendirikan Empathy For Youth Academy untuk mengajarkan literasi emosional melalui Wayang Kulit, serta menulis buku From Me to We: Teaching Children Taboo Topics for Empathy Through Spoken Word Poetry in Malaysia pada tahun 2022. Sejak 2015, ia aktif menjadi penyelenggara 100 Thousand Poets for Change, memperkenalkan Youth Slam di Senegal pada 2019, menjadi juara Ubud Slam pada 2016, tiga kali menjadi pembawa acara Women’s Slam di Festival ini, dan pada 2023 berhasil memenangkan slam di Nuyorican Poets Cafe, New York.

Lynn Nandar Htoo is an sound artist and researcher currently based in Cambodia, having relocated due to the coup in Myanmar. As a researcher-artist, she actively collects and preserves traditional Myanmar sounds to ensure they are not lost amid the current political situation. She blends these traditional sounds with modern electronic beats to create distinctive music. Performing under the name LnHD, Lynn has released energetic tracks and EPs that capture the spirit of her DJ performances in Yangon and across Southeast Asia. As a queer woman, she has also contributed as a sound designer in Southeast Asian cinema. Lynn’s music fuses her Burmese heritage with electronic dance music, resulting in fresh and exciting soundscapes. She recently toured Europe, performing at festivals while continuing to explore innovative ways of combining culture and contemporary music in her work.

Lynn Nandar Htoo adalah seniman suara dan peneliti yang kini berbasis di Kamboja, setelah berpindah akibat kudeta di Myanmar. Sebagai peneliti sekaligus seniman, ia aktif mengumpulkan serta melestarikan suara-suara tradisional Myanmar agar tidak hilang di tengah situasi politik yang terjadi. Ia kemudian memadukan suara-suara tradisional tersebut dengan ketukan elektronik modern untuk menghasilkan musik yang khas. Dengan nama panggung LnHD, Lynn telah merilis sejumlah lagu dan EP penuh energi yang menangkap semangat penampilannya sebagai DJ di Yangon maupun di berbagai negara Asia Tenggara. Sebagai seorang perempuan queer, ia juga berkarya sebagai penata suara dalam perfilman Asia Tenggara. Musik Lynn menghadirkan perpaduan antara warisan budaya Burma dan musik dansa elektronik, menciptakan lanskap suara yang segar dan mengejutkan. Baru-baru ini, ia menjalani tur Eropa, tampil di berbagai festival sambil terus mengeksplorasi cara-cara baru untuk memadukan budaya dan musik kontemporer dalam karyanya.

Ola Ola is a Thai-Nigerian instrumentalist passionately dedicated to mastering the khim, a traditional Thai idiophone with Chinese roots. A Year 13 student at Panyaden International School, she is an active member of the school’s music programme and has collaborated with various bands. Her talent and dedication have led her to participate in numerous competitions, showcasing both her skill and her embrace of Thailand’s rich musical heritage. As a young artist, Ola sees herself as an activist for traditional instruments, encouraging Thai youth to connect with their cultural identity by learning and playing them.

Ola Ola adalah instrumentalis keturunan Thailand-Nigeria yang berdedikasi tinggi menguasai khim, idiofon tradisional Thailand yang berakar dari budaya Tiongkok. Sebagai siswa Kelas 13 di Panyaden International School, ia merupakan anggota aktif program musik sekolah dan telah berkolaborasi dengan berbagai band. Bakat dan dedikasinya telah membawanya berpartisipasi dalam berbagai kompetisi, menampilkan keterampilan sekaligus kecintaannya terhadap warisan musik Thailand yang kaya. Sebagai seniman muda, Ola memandang dirinya sebagai aktivis untuk alat musik tradisional, mendorong generasi muda Thailand untuk terhubung dengan identitas budaya mereka melalui pembelajaran dan permainan alat musik tersebut.

Tigra Rose is an Indonesian musician, vocalist, and songwriter who blends modern jazz with waves of sinden. She began her musical journey with electone and classical piano before expanding into voice, strings, and percussion. Known for her performances around Ubud, Tigra often improvises with her voice and plays traditional Indonesian instruments such as the celempung and suling. She has performed both solo and in collaborative projects across Bali and Thailand, with her evolving music reflecting her life experiences and diverse cultural influences.

Tigra Rose adalah musisi, vokalis, dan penulis lagu Indonesia yang memadukan jazz modern dengan alunan sinden. Ia memulai perjalanan musiknya dengan electone dan piano klasik sebelum merambah ke vokal, alat musik gesek, dan perkusi. Dikenal melalui penampilannya di Ubud, Tigra sering berimprovisasi dengan suaranya dan memainkan alat musik tradisional Indonesia seperti celempung dan suling. Ia telah tampil baik secara solo maupun dalam proyek kolaboratif di Bali dan Thailand, dengan musiknya yang terus berkembang mencerminkan pengalaman hidup serta pengaruh budaya yang beragam.

Victoria Yam is a Malaysian interdisciplinary practitioner whose work intricately weaves Southeast Asia’s cultural traditions with contemporary media. She is the Founder of ALIGN.ONLINE, a platform dedicated to amplifying the voices of Southeast Asian women and queer practitioners, and has facilitated electronic music production workshops in Kuala Lumpur and Bangkok. In 2024, she was named the International Winner of the Oram Awards and performed at King’s Place, London, as well as Radialsystem, Berlin, presenting innovative surround sound works advocating for Malaysia’s queer community and refugees from Myanmar. Victoria has also shared stages with leading figures in global cultural and sound innovation and contributed to panels and discussions as a Southeast Asian queer woman.

Victoria Yam adalah praktisi interdisipliner asal Malaysia yang karyanya menjalin tradisi budaya Asia Tenggara dengan media kontemporer. Ia adalah pendiri ALIGN.ONLINE, sebuah platform yang didedikasikan untuk memperkuat suara perempuan dan praktisi queer Asia Tenggara, serta telah memfasilitasi lokakarya produksi musik elektronik di Kuala Lumpur dan Bangkok. Pada 2024, ia dinobatkan sebagai Pemenang Internasional Oram Awards dan tampil di King’s Place, London, serta Radialsystem, Berlin, mempersembahkan karya suara surround inovatif yang menyuarakan komunitas queer Malaysia dan pengungsi dari Myanmar. Victoria juga telah berbagi panggung dengan tokoh-tokoh terkemuka dalam inovasi budaya dan suara global, serta berkontribusi dalam berbagai panel dan diskusi sebagai perempuan queer Asia Tenggara.