Ada yang menarik dari pertumbuhan penulisan cerita pendek atau cerpen pada kurun waktu belakangan ini. Di era silam, terutama ketika sastra koran masih diminati dan berperan membentuk lanskap kepengarangan di Indonesia, pemuatan cerita pendek di surat kabar maupun majalah selalu ditunggu-tunggu. Cerita pendek berkembang seiring daya tampung di kolom yang tersedia dan tak jarang mengutamakan aktualitas khas jurnalisme media massa, di samping tentu merespons tema-tema lain yang kontekstual pada zamannya. Ketika rubrik cerita pendek di media massa berkurang oleh banyak sebab, ternyata gairah menulis cerpen tak kunjung surut, dan para pengarang seolah menemukan wadah baru dalam perkembangan ekosistem digital akhir-akhir ini.

Persoalan apakah pemuatan cerita pendek di kanal digital itu bermutu atau tidak, kita bisa mendiskusikannya dalam forum yang berbeda, seperti halnya debat-debat seputar kualitas sastra koran yang pernah terjadi hingga awal tahun 2000-an itu. Yang jelas, sebagai bangsa yang masih berkutat dalam peningkatan indeks literasi, kita membutuhkan sebanyak-banyaknya penulis dan pembaca baru yang menekuni seni menulis dengan sungguh-sungguh.

Hal menarik bahwa cerpen terpilih memiliki peluang alih wahana ke seni pertunjukan. Ini membuka pintu bagi karya cerpen untuk mengalami interpretasi yang lebih bervariasi, memperluas jangkauan cerpen, dan memperkaya pengalaman seni.
Shinta Febriany

Kesempatan membaca lebih dari 600-an cerita pendek yang masuk dalam seleksi penulis pemula (emerging writers) Ubud Writers & Readers Festival memberikan cukup gambaran perihal antusiasme tersebut. Karena penyertaan biodata merupakan kewajiban, kami menemukan latar pengarang yang berbeda-beda. Tak sedikit yang telah menulis di kanal digital, ikut berkomunitas di kantong-kantong literasi di daerahnya, mengikuti kelas-kelas menulis daring, menerbitkan buku secara independen, hingga mereka yang sama sekali belum punya bekal pengalaman apapun dalam menulis.

Begitu pun dengan keberagaman tema dalam cerpen: ada yang amat personal semisal percintaan dan keluarga, masalah isu lingkungan, ditambah sedikit yang menyinggung problem sosial maupun kritik atas situasi terkini. “Wacana adat tradisi cukup dominan menjadi bahasan, beberapa cukup menjanjikan, kendati tidak sedikit yang menjadikan kekhasan budaya itu hanya sebagai tempelan lewat dialog bahasa setempat maupun penjelasan berkepanjangan tentangnya. Isu budaya—atau isu apapun itu—baiknya direpresentasikan secara cermat sebagai fokus utama penceritaan, sebuah problema yang membuat para tokohnya mengambil pilihan-pilihan sikap dalam menyiasatinya,” ungkap Ni Made Purnama Sari, salah satu Kurator dalam seleksi ini.

Seleksi ini berlangsung dalam dua tahapan, yaitu pre-kurasi, yang membaca keseluruhan submisi dan memilih tigapuluh nominasi cerita pendek yang dianggap baik. Kriterianya tentu saja seputar kepiawaian kepenulisan, meliputi pengembangan cerita, kelancaran membangun alur, ketajaman konflik, dan aspek kepaduan narasi. Harus diakui bahwa pemilihan nominasi ini cukup pelik dikarenakan banyaknya potensi-potensi penulis muda yang dapat dipertimbangkan dalam seleksi lanjutan.

Sebagai sebuah wahana, cerpen memang dibatasi oleh jumlah kata. Namun, potensi pengembangan cerita-cerita ini menjadi karya prosa yang lebih panjang sangatlah besar—saya membayangkan cerpen-cerpen ini sebagai sinopsis yang kaya. Saya tak akan heran jika kelak kita menemukan versi novel dari kisah-kisah ini di rak buku.
Ratih Kumala

Tahapan yang kedua ialah kurasi yang dilakukan bersama penulis kenamaan Ratih Kumala dan Shinta Febriany untuk menentukan sepuluh penulis pilihan. Masing-masing kurator ini telah dikenal dengan kiprah panjangnya dalam dunia tulis-menulis maupun alih kreasi sastra ke dalam seni yang berbeda, baik film maupun pertunjukan. Keduanya memberikan masukan-masukan yang kaya untuk melihat cerpen bukan hanya sebagai karya teks, melainkan berpeluang dalam kemungkinan alih media yang berkembang pesat belakangan ini.

Menurut Ratih Kumala, cerpen adalah fondasi latihan menulis fiksi yang esensial. Inilah ujian kreativitas dan teknik seorang pengarang. Baginya, kesepuluh cerpen pilihan dari para penulis pemula ini kaya akan nuansa permasalahan sosial dan kearifan lokal yang mereka tangkap dengan cerdik. Proses penjurian ini betul-betul tidak mudah, sebab banyak karya lain yang layak, namun keunikanlah yang menjadi nilai tambah dalam menentukan akhir pilihan.

“Sebagai sebuah wahana, cerpen memang dibatasi oleh jumlah kata. Namun, potensi pengembangan cerita-cerita ini menjadi karya prosa yang lebih panjang sangatlah besar—saya membayangkan cerpen-cerpen ini sebagai sinopsis yang kaya. Saya tak akan heran jika kelak kita menemukan versi novel dari kisah-kisah ini di rak buku,” ujar Ratih Kumala.

Sementara Shinta Febriany menambahkan sepuluh cerpen terpilih menawarkan gagasan tematik yang beragam dengan titik tumpu pada cerita yang berhasil memantulkan perspektif, pikiran, dan pengalaman budaya, gender, sosial, dan politik. Para penulis dengan lentur memanfaatkan pengetahuan lokal sebuah suku atau pulau untuk memperbaharui kisah-kisah masa lalu yang relevan dengan situasi saat ini.

Wacana adat tradisi cukup dominan menjadi bahasan, beberapa cukup menjanjikan, kendati tidak sedikit yang menjadikan kekhasan budaya itu hanya sebagai tempelan lewat dialog bahasa setempat maupun penjelasan berkepanjangan tentangnya. Isu budaya—atau isu apapun itu—baiknya direpresentasikan secara cermat sebagai fokus utama penceritaan, sebuah problema yang membuat para tokohnya mengambil pilihan-pilihan sikap dalam menyiasatinya
Ni Made Purnama Sari

“Hal menarik bahwa cerpen terpilih memiliki peluang alih wahana ke seni pertunjukan. Ini membuka pintu bagi karya cerpen untuk mengalami interpretasi yang lebih bervariasi, memperluas jangkauan cerpen, dan memperkaya pengalaman seni,” ujar Shinta Febriany.

Kabar gembira dari penyelenggara UWRF ialah sepuluh cerpen ini akan diterjemahkan ke bahasa Inggris. Pertimbangan itulah juga yang membuat para Kurator sedapat mungkin memilih cerpen yang tidak hanya baik, unik, dan memikat secara teknik, melainkan juga cukup mampu merepresentasikan keberagaman wajah Indonesia. Ini tercermin dari tema-tema yang lolos: mereka yang sanggup merespons isu budaya berbagai daerah sebagai topik signifikan dalam cerita, mereka yang menyajikan masalah kontemporer di perkotaan maupun kaum pinggiran, dan mereka yang menuliskan problem-problem personal sebagai representasi situasi masyarakat kita saat ini. Semoga dengan demikian, kita mampu memanggungkan mutiara talenta penulis pemula dari Indonesia kepada para pembaca di luar sana.

Selamat kepada para penulis pemula Ubud Writers & Readers Festival terpilih. Selamat menempuh jalan kepengarangan Anda sekalian yang selanjutnya.

Kurator Seleksi, April 2025


Ni Made Purnama Sari
Ratih Kumala
Shinta Febriany

Back
Close
Close
Scroll Down
Loading...
Select
Cancel
Filters
Day +
Category +
Time +
SHOW FREE EVENTS ONLY
APPLY FILTER
Reset